BERITA KLATEN — Sekertaris Dai Kamtibmas dan sekaligus Sekertaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Klaten H.Moch.Isnaeni mengatakan bahwa IA istilah halal bi halal yang banyak digunakan masyarakat Indonesia saat berkumpul dengan sanak saudara dan kerabat hanya dikenal seusai perayaan Idul Fitri.
Menurutnya meskipun istilah tersebut mengandung unsur bahasa Arab, tetapi kata halal bi halal tidak ditemukan dalam kamus Arab modern maupun klasik.
“Halal bi halal merupakan penyebutan khusus terhadap sebuah tradisi yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat muslim di Indonesia, dengan makna mengurai kekusutan tali persaudaraan,” katanya.
Hal tersebut disampaikan Moch.Isnaeni saat memberikan tausiyah halal bi halal keluarga besar SMP Negeri 6 Klaten di RM. Mayar Klaten, Jawa Tengah, Kamis (18/4/2024).
Menurutnya kata halal bihalal berasal dari kata “halla-yahallu-hallan”, dengan makna terurai atau terlepas.
“Halal bihalal merupakan sebuah media untuk mengembalikan kekusutan hubungan persaudaraan dengan saling memaafkan pada saat dan atau setelah hari raya Idul Fitri. Sehingga istilah halal bi halal itu hanya dikenal usai sholat Idul Fitri,” katanya.
Dijelaskan dalam interaksi sosial di masyarakat misalnya selama setahun sebelum Idul Fitri di tengah-tengah kita terjadi kesalahpahaman, atau banyak kesalahan-kesalahan lain yang dilakukan secara sengaja maupun tidak di antara sesama, maka halal bi halal ini adalah sebagai momen dan waktu yang baik untuk mengurai keruwetan yang tentu mengganjal hati tersebut, dengan cara meminta maaf dan juga memaafkan,” terangnya.
Pertanyaannya mengapa istilah halal bi halal hanya berlaku setelah Idul Fitri, Ya betul karena hal tersebut memiliki hubungan kuat dengan makna lafal Idul Fitri, yakni perayaan kembalinya manusia pada kesucian. “Idul berarti suatu perayaan yang diulang-ulang, sedangkan fitri bermakna suci.
“Maka Idul Fitri merupakan perayaan kembalinya manusia terhadap kesucian yang hanya bisa diraih dengan memperoleh ampunan dari Allah SWT, dan mendapatkan maaf dari sesama manusia,” ujarnya.
Terkait dengan makna yang terkandung dalam istilah halal bihalal, Moch.Isnaeni mengutip uraian Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an yang menjelaskan sejumlah aspek untuk memahami istilah Halal Bi Halal, diantaranya:
Pertama, dari aspek hukum fikih. Halal yang oleh para ulama dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bi halal memberikan pesan bahwa mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.
“Dengan demikian, halal bi halal menurut tinjauan hukum fikih menjadikan sikap yang tadinya haram atau yang tadinya berdosa menjadi halal atau tidak berdosa lagi, yang ini tentu baru tercapai apabila persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bi halal, seperti secara lapang dada saling maaf-memaafkan” katanya.
Kedua, dari aspek bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Dengan demikian, jika memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.
Ketiga, dari aspek tinjauan Qur’ani. Halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.
Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik simpul bahwa halal bi halal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar “menyambung hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, dan berbuat baik secara berkelanjutan”.
Pesan yang berupaya diwujudkan melalui tradisi halal bihalal lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antara-anak bangsa tercipta untuk peneguhan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan kemaslahatan bersama
Sementara itu dalam sambutannya Kepala Sekolah SMP Negeri 6 Klaten Ismadi mengatakan acara halal bi halal berlangsung penuh keakraban dalam suasana kekeluargaan dan dihadiri oleh pengurus Komite Sekolah bersama para guru dan Kepala sekolah SMP Negeri 6 Klaten serta dewan guru lainnya. Selaku Kepala SMP Negeri 6 Klaten H.Ismadi menyambut baik tradisi silaturrahmi halal bi halal di SMP Negeri 6 Klaten ini.
“Diselenggarakannya halal bihalal ini dengan harapkan bisa digunakan sebagai sarana untuk saling memaafkan dan minta maaf, menjaga hubungan baik, serta sebagai sarana untuk merawat kerukunan antar umat beragama di SMP Negeri 6 Klaten,” katanya.
Menurutnya halal bi halal ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja seluruh warga sekolah dalam memberikan pelayanan kepada anak didik di sekolah.
“Halal bi halal dapat mengukuhkan harmonisasi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya di Sekolah diharapkan dapat meningkatkan kinerja seluruh keluar besar SMPNegeri 6 Klaten,” pungkasnya.
Penulis: Moch.Isnaeni
Editor: ksd